Dalam era digital saat ini, media sosial menjadi panggung besar tempat jutaan orang membagikan momen hidupnya—dari hal-hal kecil yang menyenangkan hingga pencapaian besar yang membanggakan. Namun, di balik unggahan penuh senyum dan kutipan motivasi yang bertebaran, muncul fenomena yang disebut toxic positivity: tekanan untuk selalu terlihat bahagia, bahkan saat sedang tidak baik-baik saja.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah bentuk sikap positif yang dipaksakan, yakni keyakinan bahwa seseorang harus tetap berpikir dan bersikap positif dalam segala situasi, termasuk saat sedang mengalami kesedihan, kekecewaan, atau stres. Ini terdengar baik pada awalnya, namun bisa menjadi berbahaya ketika emosi negatif dianggap tabu atau “tidak boleh” dirasakan.
Contohnya di media sosial, seseorang yang mengungkapkan kesedihan atau kekecewaan sering kali mendapat komentar seperti:
- “Jangan sedih, bersyukur saja.”
- “Pikirkan yang positif!”
- “Masih banyak yang lebih susah dari kamu.”
Kalimat-kalimat seperti itu tampak peduli, namun sering kali justru membuat seseorang merasa bersalah karena punya emosi negatif, atau merasa dituntut untuk pura-pura baik-baik saja.
Media Sosial dan Budaya “Selalu Bahagia”
Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter (X) dipenuhi oleh konten yang menampilkan kebahagiaan, pencapaian, dan gaya hidup ideal. Fenomena ini menciptakan ilusi bahwa semua orang selalu bahagia, sukses, dan percaya diri. Akibatnya, pengguna lain merasa harus ikut tampil bahagia agar tidak “tertinggal”.
Padahal, kehidupan nyata tidak selalu cerah. Kita semua punya hari buruk, mengalami kegagalan, dan merasa tertekan. Namun, ketika media sosial memaksa kita untuk selalu menunjukkan sisi positif saja, ruang untuk menjadi manusia yang utuh—dengan emosi yang beragam—jadi sempit.
Dampak Toxic Positivity di Media Sosial
- Menekan Emosi Sejati
Orang jadi merasa bersalah saat sedih atau stres, dan mulai menutupi emosi itu demi “citra positif” di media sosial. - Merasa Sendiri dalam Kesedihan
Karena semua orang tampak bahagia, seseorang yang sedang mengalami masalah bisa merasa ia satu-satunya yang gagal atau tidak cukup kuat. - Hubungan Tidak Otentik
Interaksi di media sosial jadi dangkal dan tidak jujur karena banyak orang hanya menunjukkan “topeng” bahagia. - Kesehatan Mental Terabaikan
Ketika emosi negatif tidak diakui dan dibicarakan, risiko masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan bisa meningkat.
Jalan Tengah: Positif yang Sehat, Bukan Memaksa
Menjadi positif bukan berarti menolak kesedihan. Justru, sikap positif yang sehat adalah mampu mengakui emosi negatif, memahami sebabnya, dan mencari cara yang sehat untuk menghadapinya. Di media sosial, ini bisa dimulai dari:
- Membagikan kisah secara jujur, tanpa harus selalu terlihat sempurna.
- Memberikan dukungan yang empatik, seperti: “Aku dengar kamu. Aku ada di sini jika kamu butuh teman bicara.”
- Mengurangi konsumsi konten yang membuat kita merasa tidak cukup atau tertekan.
- Menyadari bahwa media sosial hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang, bukan seluruhnya.
Kesimpulan
Toxic positivity di media sosial bukan hanya membuat kita kehilangan kejujuran emosional, tapi juga bisa membentuk budaya pura-pura yang merusak kesehatan mental banyak orang. Kita tidak harus selalu bahagia, dan itu tidak apa-apa. Emosi negatif adalah bagian alami dari kehidupan. Yang terpenting adalah bagaimana kita belajar menerimanya, memprosesnya, dan tetap berempati terhadap diri sendiri dan orang lain.
Mungkin, di dunia yang terus menuntut kita untuk selalu tersenyum, keberanian terbesar justru adalah berkata, “Aku tidak baik-baik saja, dan itu manusiawi.”
Tinggalkan Balasan